Apa kabar?
Minggu, 29 Juli 2018
Lombok
diguncang gempa sebesar 6.4 SR. Saya disana. Tepatnya di Sembalun, kaki Gunung
Rinjani. Saya dan dua kawan sedang terlelap dengan indah saat kasur kami
bergoyang keras. Kami pun lari keluar. Tangan dan kaki saya gemetar. Lemas rasanya.
Antara percaya dan tidak.
Tidak lama,
mobil pickup berlalu-lalang sambil membunyikan klakson keras-keras. Saya pikir,
Ini mobil kenapa sih, orang-orang lagi
pada tegang dan syok, malah nambahin polusi suara. Begitu saya geser
pandangan ke bagian bak, ada satu dua warga yang berdarah-darah dan membutuhkan
pertolongan segera.
---
Selasa, 31 Juli 2018
Saya kembali
ke Jakarta.
Errrgh… Ternyata
daku tidak bisa fokus kerja. Ragaku di depan komputer, namun pikiranku pada orang-orang
disana yang kutahu sedang memerlukan banyak uluran tangan. Sungguh pilu rasanya
tiap berita tentang Lombok muncul di depan mataku sedangkan aku tak bisa
berbuat banyak dari jauh.
---
Minggu, 5 Agustus 2018
Malam ini
adalah salah satu malam terberat bagi saya. Pulau Lombok kembali diguncang
gempa dengan skala yang lebih besar. Saya meluncur ke situs resmi BMKG untuk
memastikan dan benar adanya. 7.0 SR. Berpotensi tsunami. Bulu kuduk saya
bergidik seketika. Kepala rasanya panas. Kedua mata basah tanpa disadari. Ya Tuhanku,
tolong lindungi mereka.
Saya
bergegas menelepon teman-teman di Lombok. Semua aman. Namun ada nada getir dan
duka mendalam yang saya tangkap dalam pembicaraan singkat di telepon. Mati
listrik dan hujan deras menambah suasana makin mencekam, lapor temanku. Seketika
pikiranku melayang pada kondisi pascagempa seminggu yang lalu. Ingin rasanya kuterbang
ke Lombok saat itu juga.
Di tengah
duka yang saya alami, masuklah sebuah chat dari seorang teman. Hanya satu pesan
namun amat sangat panjang. Isinya evaluasi, saran, dan kritik tentang acara
yang kami laksanakan dengan begitu detail dan tajam. Saya terdiam. Semua berkecamuk
di kepala. Dada seperti ditiban kasur. Berat.
Let me tell
you. Pertama, saya setuju dengan semua kritik yang ia sampaikan. Saya terima. Tanpa ia bilang pun sesungguhnya saya sudah memahami. Kedua, saya
masih pilu karena berita Lombok beberapa jam lalu. Chat ini sungguh membuat
keadaan saya menjadi lebih buruk. Saya menyayangkan satu hal, ia tidak membuka percakapan dengan
tanya kabar lebih dulu. Saya sedih. Tapi saya sadar, saya tidak bisa mengontrol
hal itu. Yang bisa saya kontrol adalah respons saya. So, saya sampaikan terima
kasih dan maaf kepadanya tanpa menjelaskan saya sedang berduka dan sedang tidak
nyaman menerima kritik panjang di saat duka seperti ini.
---
Dari kejadian ini saya belajar sesuatu. Terkadang kita tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang
dialami oleh teman kita, bukan? Kita juga sering tidak sadar mungkin saja ada
perkataan kita yang menyakitkan atau membuat mereka sedih. Atau, kata-katanya biasa
saja tapi disampaikan di waktu yang kurang tepat sehingga malah memperburuk
keadaan. Who knows.
Saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih peka dengan keadaan, terutama bila ingin menyampaikan hal-hal penting. Gimana caranya? Mana dia tau kalo elo lagi berduka karena gempa. Caranya mudah kok. Mulailah percakapan dengan baik. Mulailah dengan menanyakan kabar terlebih dahulu. Halo kak, apa kabar? Lagi sibuk apa nih? atau Kak, aku mau sampaikan sesuatu, bisa diganggu sebentar? Mudah, bukan?
Saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih peka dengan keadaan, terutama bila ingin menyampaikan hal-hal penting. Gimana caranya? Mana dia tau kalo elo lagi berduka karena gempa. Caranya mudah kok. Mulailah percakapan dengan baik. Mulailah dengan menanyakan kabar terlebih dahulu. Halo kak, apa kabar? Lagi sibuk apa nih? atau Kak, aku mau sampaikan sesuatu, bisa diganggu sebentar? Mudah, bukan?
Percayalah,
kamu ga benar-benar tau apa yang sedang dialami atau dirasakan seseorang sampai
kamu memakai sepatunya. Cobalah. Dengan begitu, kamu
jadi paham apa yang sedang ia rasa. Kamu akan lebih peka, empati, dan dapat memposisikan
diri. Yuk, dibiasakan.
Comments
Post a Comment