Morning Talk: Gamophobia
Semalam,
saya mendapat amanah jadi panitia nikahan seorang sahabat. Dia setahun lebih muda. Dulu kami
sering berpetualang bersama. Melihat dia bersanding di pelaminan bersama orang
yang dia sayangi dan percaya bertahun-tahun menjadi keharuan tersendiri. Sahabatku
sudah dewasa.
Pikiranku
terlempar pada suatu pagi di bulan Oktober tahun 2015. Saat itu, saya terbang
ke Alor untuk liburan sekaligus mengunjungi seorang sahabat yang sedang
bertugas disana, sebut saja Agalet. Uniknya, saya dan Agalet sering mengalami
hal-hal serupa dalam waktu berdekatan. Seperti pada waktu itu, dia ditugaskan di
Alor dan beberapa bulan kemudian saya dapat kerja di Atambua. Kami satu
provinsi! Gosh.
Pagi itu
adalah hari terakhir saya di Alor. Rencananya, saya, Agalet, dan teman Agalet
akan mengunjungi sebuah air terjun. Saya menghampiri Agalet yang lagi
duduk-duduk di bangku kayu halaman rumah. Entah apa pemicunya, kami jadi
ngobrol panjang kali lebar kali tinggi. Tentang komitmen, pernikahan, dan berumah
tangga.
Saya dan
Agalet, wanita 23 dan 24 pada saat itu, baru setahun melepas status paling
membahagiakan dalam hidup (red: mahasiswa) dan sedang haus-hausnya menjelajah serta
mencari pengalaman hebat yang jauh dari rumah, mengaku takut untuk berkomitmen.
Apa yang ditakuti? Well, simpel, kami takut menghabiskan sisa hidup dengan
orang yang sama karena kami mengaku mudah jenuh. Ga kebayang, bangun pagi liat
dia, pulang kerja liat dia, mau tidur ada dia lagi, weekend juga dengan orang
yang sama. Errrgh. Can you imagine that? Sounds boring for us.
Ketakutan
lainnya antara lain tentang penerimaan satu sama lain. Bagaimana kalau pasangan
kami nanti tidak bisa menerima kami apa adanya, tidak bisa menerima
kebiasaan-kebiasaan kami yang (mungkin) sulit diubah. Apa mereka akan bertahan?
Kalau tidak bisa terima, kami tidak akan repot meminta untuk diterima. Kami memilih
pergi. Lah kalau sudah menikah? Mana bisa pergi seenak jidat begitu.
Saya dan
Agalet, wanita 23 dan 24 pada saat itu, melihat pernikahan sebagai sesuatu yang
abstrak. Bagi kami, pernikahan akan menciptakan batas-batas dalam ruang gerak
dan ekspresi. Kalau sudah menikah, apa masih bisa leluasa jalan sama
teman-teman? Jalan disini bukan jalan ke emol atau sekedar nongkrong di kafe,
tapi jalan jauh berhari-hari memuaskan nafsu menjelajah alam. Belum lagi kalau rombongannya
kaum adam semua, dikasih izin ga tuh? Oh, you wish, honey.
Sempat berpikir,
jangan-jangan kami Gamophobia (ketakutan untuk berkomitmen/menikah). Apa itu nikah?
Kenapa harus menikah? Kenapa harus menikah di bawah umur 30 biar ga diomongin
sama society di Indonesia? Saya percaya pernikahan adalah hal yang sakral sehingga
alasan yang mendasarinya tidak sekedar “Umurku udah lewat tiga puluh nih”, "Ga kuat gw dinyinyirin terus sama tetangga" atau “Oh,
because I’ve found the one”.
Saya menuliskan
ini karena saya menyadari betapa ajaibnya hati manusia yang mampu berubah seiring
berjalannya waktu. Saya menuliskan ini simply agar saya ingat, Oh, Gita umur 23 perasaannya seperti ini, pandangannya seperti itu.
Sebab, ya, hati manusia sungguh tak ada yang tau barang satu depa. Perubahan
yang terjadi adalah kontribusi dari pengalaman-pengalaman di lingkungan sekitar
dan pandangan-pandangan baru yang tersaji dengan cepat dan mudah di era
globalisasi ini.
Lalu, Gita
umur 26 masihkah takut menikah?
See you on the next talk!
See you on the next talk!
In my comfy porch
Backsound: Paul-Untuk Gita
Comments
Post a Comment