Surprise
“Radit mana?”
tanya seorang gadis kurus kepada Reno. Ia sangat excited menyambut pria bernama “Radit” ini. Namun, yang
ditunggu-tunggu tidak terlihat batang hidungnya sejak packing pagi tadi. Raut wajah sang gadis nampak kecewa.
“Radit harus
jemput mama ke bandara. Dia nitip ini buat elo.” Reno memberikan bungkusan
kecil yang langsung membuat gadis kurus tersenyum begitu melihat isinya. Makasih Radit, you know me. Tapi, bukan
ini yang ia inginkan sekarang, melainkan orang yang memberinya bungkusan ini.
“Dia minta maaf karena gak jadi ikut. Don’t
get glum, Milo. Masih ada gue dan Adri, okay?”
Reno memainkan alisnya genit sambil mengajak high-five.
Hari ini hari
yang spesial bagi seorang gadis kurus bernama Milly Raisha Wijaya. Pria bernama
Radit itu sudah janji sejak minggu lalu untuk menemaninya naik gunung. Dan
ketidakikutsertaan Radit yang tiba-tiba itu membuat mood Milly bagai naik roller
coaster.
Dari kursi
pengemudi Adri mengamati adiknya yang sepanjang perjalanan cemberut persis anak
kecil gak dibeliin permen, “Dek, muka jangan ditekuk mulu. Udah ganteng tambah ganteng.”
Adri mencoba menghibur, tapi Milly tak peduli. Pikirannya sedang berkelana mencari-cari
hukuman licik apa yang pantas ia berikan untuk sahabatnya itu.
Pemandangan kota
perlahan berganti. Udara sejuk mulai menghampiri. Sebuah kijang hitam memasuki
halaman parkir Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Perjalanan tiga anak
manusia itu dimulai dari sini. Menapaki setiap jalur tanpa batas. Menikmati
kehidupan secara lepas. Sebelum maghrib, ketiganya sudah harus mendirikan tenda
di lembah Surya Kencana untuk bermalam.
Bagi Milly, naik
gunung seperti pelepas rindu akan rumah di kampung halaman. Di rumah itu ia
bebas melakukan apa saja yang ia mau. Menyanyi sesuka hati. Koprol kesana
kemari. Berlari kencang tanpa takut jatuh. Menyusun tembok hatinya yang runtuh.
Sembunyi sejenak dari kenyataan. Bercengkrama dengan gelapnya hutan. Berinteraksi
denganNya. Anything. Rumah itu bagaikan
penyembuh luka yang kasat mata. Dan Milly betah berlama-lama di dalamnya.
“Kalo Radit
tiba-tiba nongol di puncak gimana, Mil?” tanya Reno iseng saat mereka sedang
melepas lelah di Kandang Batu. Setengah perjalanan sudah mereka lewati.
”Gue suruh dia gendong
gue sampe bosen di puncak!”
“Hahaha kasian
adek gue. Sekalian sampe Surken aja, Mil.”
“Nah! Ide bagus,
Mas!”
Mampus lo, Dit. Reno cekikikan sendiri.
Sampailah mereka
di Tanjakan Setan. Sebuah tebing setinggi sepuluh meter dengan kemiringan
hampir 90 derajat dihiasi sebuah tali yang menjuntai sebagai pegangan. Reno
naik pertama, diikuti oleh Adri dan Milly. Begitu Adri berhasil melewati
Tanjakan Setan, ia dan Reno bertatapan singkat lalu langsung berlari ke arah
puncak. Meninggalkan Milly yang masih berkutat di tebing.
“Woy, tungguin
gue!” Milly protes.
“Jogging, Mil! Kita cepet cepetan sampe
puncak!” Balas Reno bersemangat sambil berlari.
“The peak is gonna be awesome!” Tambah Adri
setengah berteriak. Sebelum Milly sempat membalas lagi, kedua pria itu telah
menghilang dari sudut penglihatan. ASEM!
Sial banget gue hari ini. Tadi pagi Radit tiba-tiba gak jadi ikut, sekarang
ditinggal mas Adri dan mas Reno. Kini tinggalah ia sendiri dalam dinginnya
udara senja yang mulai menyapa. Mood bagai
roller coaster itu membuatnya malas
untuk meladeni ajakan jogging Reno.
Langit biru
cerah tersapu sedikit demi sedikit. Memberikan ruang bagi sang mentari untuk
kembali ke istana semesta. Perjalanan menuju puncak seakan tak pernah sampai. Pukul
4 sore seharusnya Milly sudah sampai di puncak. Ia menggigit bibir bawahnya. Sedikit
sangsi bila harus kesasar sendirian di tengah hutan. Namun, gadis tangguh ini
tetap melaju sampai tak ada yang menghalanginya dengan langit biru.
Sebuah batu
besar dihadapannya mengukir seulas senyum di wajah lelah Milly. PUNCAK! Ia berlari menuju batu dan
mengelusnya lembut. Memastikan tidak kesasar karena dibalik batu besar ini
tersuguhkan dataran puncak Gunung Gede. Milly sudah sering menginjakkan kaki
disini untuk menikmati sunrise, tapi
baru kali ini ia merasakan dahsyatnya lukisan matahari terbenam.
Milly terus berjalan.
Orange, peach, dan turquoise
saling berpadu dalam kanvas sang langit luas. Awan putih yang biasa ia lihat
dengan menengadahkan kepala kini terasa begitu dekat mengelilinginya. Surely, the peak is gonna be awesome. Milly
mengedarkan pandangan dan berputar perlahan. Langit, awan, matahari, senja, dan
saat membalikkan badan matanya menemukan Pangrango. Pangrango yang berdiri
gagah seraya menawarkan sejuta keindahan bersama sekumpulan awan. Berhiaskan
langit senja yang mengukir kedamaian.
Bibir gadis
kurus ini terasa kelu saat keindahan Pangrango menjadi latar sempurna bagi tiga
orang pria yang kini berdiri dihadapannya. Tiga orang yang sangat ia kenal dan
sayangi. Adri, Reno, dan satu orang yang sukses membuat moodnya hari ini bagai roller
coaster. Milly mematung dan menganggap ini semua hanya mimpi. Kurang dari
lima meter berdiri sosok Raditya, sahabatnya sejak kecil, teman sekelasnya dari
TK sampai SMA, tetangganya yang batal menemani hiking karena harus jemput sang mama ke bandara. Dan sosok itu kini
sedang berdiri di antara Adri dan Reno sambil membawa kotak mini persegi dengan
sebuah lilin kecil yang menancap diatasnya.
“Happy birthday
to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy
birthdaaay... Millooooo!!!” Belum ada yang pernah menyanyikannya lagu ulang
tahun di ketinggian 2.985 mdpl. Belum ada yang pernah mempersembahkannya kue
ulang tahun pada suhu yang menggigit. Saat ketiga pria itu berjalan mendekat,
Milly masih mematung. Tak percaya akan mendapatkan kejutan dari orang-orang
terdekat di tempat favoritnya.
“Woy! Dikasih kejutan
malah bengong. Tiup lilinnya tuh.” Reno memecah keheningan. Namun, angin
kencang yang berhembus di puncak gunung membuat api yang berusaha dinyalakan
beberapa kali itu mati sebelum Milly sempat meniupnya. Keempatnya tertawa
bersama. Menertawai kebodohan orang yang mengusulkan acara tiup lilin di atas
puncak gunung seperti ini. “Udah gue bilang lilinnya pake parafin aja.”
Keempatnya tertawa lagi.
Tanpa disadari,
satu-satunya wanita dalam perjalanan itu sedang berusaha mati-matian menahan
sesuatu. Sesuatu yang sangat tidak ingin ia tunjukkan di hadapan para lelaki. Apa
daya, gumpalan yang sudah menumpuk di pelupuk mata itu akhirnya tumpah juga. Saking
terharu dan bahagianya, “Makasih ya, Mas Adri, Mas Reno.” Milly tak kuasa
menahannya, ia memeluk dua pria dewasa didepannya.
“Sama-sama, Dek.
Jangan cengeng lagi. Buruan cari pacar, jangan naik gunung mulu.” Sang kakak
mendoakannya tulus sambil memeluknya.
“Happy birthday, my dearest neighbor!
Semoga makin sering ngirim makanan ke rumah gue.” Yang ini doa tulus versi Reno.
“Gak makasih buat Radit? Dia hampir mati kedinginan nungguin elo di puncak.
Hahaha.” Sambil tertawa lebar, ia menculik kue mungil dari tangan Radit dan
berlalu bersama Adri menikmati sore di puncak Gede.
Hening sejenak
melingkupi satu pria dan satu wanita yang saling berhadapan ini sebelum akhirnya
berjalan bersisian. Milly gak nyangka sahabatnya yang gak suka hiking itu bisa sampai sini. Radit juga
gak nyangka dirinya yang mirip badut Ancol itu berhasil menginjakkan kaki di
puncak.
“So, is it the peak?”
“Yep.”
“Pantesan lo
betah. Bisa cerita sama langit sepuasnya.”
“Hahaha. Norak
lo, Dit. Baru pertama kali naik gunung langsung metal gitu.” Milly meninju
pelan bahunya. “But, thanks a lot. You did
it, Bro!”
Radit tersenyum.
Kejutannya berhasil. Tapi dibalik semua itu ia jauh lebih bahagia karena pendakian
pertamanya yang melelahkan telah memberinya banyak pelajaran. “Anytime, Milo. Gue jadi tau rasanya naik
gunung dan euforia sampai puncak. Well,
gue punya sesuatu buat lo.” Radit merogoh kantong jaketnya.
“Gue juga punya sesuatu
buat lo.” HAP! Sebelum Radit sempat mengeluarkan hadiahnya, Milly sudah nemplok
di punggung besar Radit. “Gendong gue sampe Surken!”
-bersambung-
fiksi nih git?
ReplyDeleteyep, just one of my dreams on birthday haha
Delete