Bank Sampah
Menabung uang di bank
merupakan hal yang umum dilakukan orang, termasuk saya. Namun, bagaimana bila
menabung sampah? Seperti apa bentuk banknya? Rasa penasaran ini mengantarkan saya
pada sebuah sekolah unik yang terletak di daerah Bogor Utara. Mendekati gerbang
pintu masuk, saya menemukan tulisan “Parkir Motor” yang terbuat dari tutup
botol air mineral. Dari kejauhan sekolah ini tampak teduh dan berhasrat untuk
dijelajahi. Setelah mengisi buku daftar pengunjung dan menggunakan tanda
pengenal visitor, saya pun mulai
berpetualang.
Pengelolaan daur ulang bernama Bank Sampah ini berdiri sejak empat tahun lalu. Ide Bank Sampah datang dari seorang ibu rumah tangga lulusan S1 Peternakan Universitas Brawijaya bernama ibu Dewi. Beliau bersama ibu Aling dan dua rekannya terus mengembangkan ide dalam menyulap benda-benda yang terlihat tidak berguna menjadi berguna. “Kalau hanya mengumpulkan sampah, kita hanya seperti pengepul elite saja,” tutur ibu Aling. Lalu, beliau memikirkan bagaimana caranya sampah yang telah dikumpulkan tidak menumpuk, tetapi menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Ucapan selamat datang yang terbuat dari tutup botol bekas |
Ruang kelasnya bukan
terbuat dari semen dan bata, melainkan dari kayu. Interiornya dirancang simpel
namun menarik. Propertinya sangat colorful dan kreatif. Suasana belajar
terlihat fun dan back to nature. Ya, inilah Sekolah Alam Bogor. Sekolah ini sama
seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya. Namun, sekolah yang memiliki murid
sebanyak 550 orang dari tingkat TK sampai SMP ini lebih menekankan pada segi keagamaan
dan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Sekolah Alam Bogor merupakan
salah satu cabang dari Sekolah Alam Indonesia dan satu-satunya sekolah alam
yang memiliki pengelolaan daur ulang sampah.
Ruang perpustakaan yang terbuat dari kayu |
Pengelolaan daur ulang bernama Bank Sampah ini berdiri sejak empat tahun lalu. Ide Bank Sampah datang dari seorang ibu rumah tangga lulusan S1 Peternakan Universitas Brawijaya bernama ibu Dewi. Beliau bersama ibu Aling dan dua rekannya terus mengembangkan ide dalam menyulap benda-benda yang terlihat tidak berguna menjadi berguna. “Kalau hanya mengumpulkan sampah, kita hanya seperti pengepul elite saja,” tutur ibu Aling. Lalu, beliau memikirkan bagaimana caranya sampah yang telah dikumpulkan tidak menumpuk, tetapi menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Bahan baku daur ulang
berasal dari murid-murid Sekolah Alam Bogor yang “menabung” sampah di Bank
Sampah dengan menggunakan sistem poin. Setiap murid yang menabung sampah akan
diberikan poin sesuai dengan jumlah sampah yang ditabung. Pada akhir semester, poin
tersebut dapat ditukarkan dengan uang. Menurut ibu Dewi, hal ini akan menumbuhkan
rasa kepedulian murid-murid terhadap sampah serta meningkatkan rasa cinta
lingkungan. Namun, bukan murid-murid saja yang bisa menabung, tempat ini
terbuka bagi siapa saja yang ingin menyetorkan sampah, termasuk masyarakat
sekitar Sekolah Alam Bogor.
Pengelompokkan sampah plastik sebelum didaur ulang |
Barang-barang hasil daur
ulang dipajang pada sebuah galeri “Salam Rancage” berukuran sekitar 6 x 5 meter.
Dalam bahasa Sunda, rancage berarti “terampil”. Barang-barang tersebut dijual
mulai harga lima ribu rupiah sampai seratus ribu rupiah. Ada tas pundak, keranjang
parsel, bantal, gelang, peniti, wadah cantik, dan masih banyak lagi. Selain itu,
barang hasil daur ulang juga digunakan untuk media pembelajaran para murid di
dalam kelas.
Hasil daur ulang di Galeri Rancage |
Contohnya angklung yang
terbuat dari botol-botol bekas. “Botol ini berbeda-beda, tetapi kalau dimainkan
dengan irama yang betul bisa menimbulkan keselarasan. Pada akhirnya angklung tersebut memang akan
menjadi sampah, tetapi dari perjalanan dari sampah menjadi sampah lagi, dia
sudah menginspirasi anak-anak, mengajarkan tentang harmoni, dan itu hal yang dahsyat.
Sama seperti manusia yang dari tanah akan menjadi tanah kembali, dan selama
hidup ini kita sudah melakukan apa saja.” Hati saya bergetar mendengar
pernyataan tersebut.
Semua hasil produksi
murni buatan tangan dan hanya dikerjakan oleh delapan orang. Seringkali ibu
Dewi menolak permintaan konsumen dalam jumlah besar karena sumber daya manusia yang
tersedia masih terbatas, walaupun bahan baku sangat melimpah. Beliau mengaku
kesulitan mendapatkan orang yang mau mengerjakan pekerjaan secara rapi dan
teliti. Terkadang mereka (warga) cenderung ingin bekerja cepat sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan bentuk yang diminta.
Proses mengedukasi
masyarakat inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi ibu Dewi dan
rekan-rekan di Rancage. Dibutuhkan daya tahan yang kuat dalam melakukan proses
edukasi kepada masyarakat. Namun, mereka percaya, sekali masyarakat teredukasi
akan memberikan dampak yang positif. Pola pikir masyarakat mulai berubah
perlahan setelah diberikan pengetahuan tentang daur ulang sampah. Masyarakat
mulai berpikir bahwa sampah bisa dimanfaatkan kembali dan memiliki nilai tambah
ketika sudah didaur ulang. Hal ini akan membuat mereka tergerak untuk melakukan
proses pemilahan sampah terlebih dahulu sebelum dibuang. “Minimal mereka tidak
buang sampah sembarangan lagi, termasuk buang sampah ke sungai. Jadi, tanpa
harus digembor-gembor jangan buang sampah sembarangan, ketika mereka merasa itu
ada manfaatnya, itu akan lebih memotivasi mereka.”
Ketika tiba pada pertanyaan
kekuatan apa yang dimiliki untuk membangun ini, ibu Aling dengan mantap
menjawab, “Kekuatan mimpi.” Ya, dengan
kekuatan mimpi ibu Aling, ibu Dewi, dan rekan-rekan terus memberikan edukasi kepada
masyarakat dan mengembangkan Rancage. Harapannya, daerah ini bisa menjadi Green Village. Pola pikir masyarakat
mengenai sampah bisa terbangun sehingga masyarakat lebih peduli terhadap
kebersihan rumah tangga sendiri maupun lingkungan sekitar.
Cimahpar, 30 Agustus 2012
Hari ketiga penelusuran Sungai Ciluar
I bought this :) |
Comments
Post a Comment