Banten Lama
Sabtu lalu gue mengagendakan manjat di Ciampea. Semangat
45 banget karena udah lama gak ketemu tebing. Jumat malem gue keluarin
peralatan yang mau dibawa. Karena beberapa alasan, manjatnya batal. Beuh...
Ibaratnya gue udah naik tangga wahana seluncur Waterboom berpuluh-puluh meter
dan ketika sampe atas wahananya tutup! Rasanya mau terjun gitu aja gak usah
lewat perosotan.
Apa itu Banten Lama? Semacam kota tuanya Banten. Gue gak akan cerita sejarah di balik peninggalan-peninggalan yang ada di Banten Lama. Silahkan cari di eyang gugel untuk info lebih jauh. Cuma ingin berbagi tentang Banten (Serang lebih tepatnya) dengan segala keunikannya.
Dengan keajaibanNya agenda manjat gue beralih
menjadi study tour ke Banten Lama. Perkenalkan, penyelamat gue weekend lalu
sekaligus teman jalan yang menggemaskan. Rama.
Jadi, kalo kalian melihat tante tante lagi tamasya di Serang sama keponakannya
Sabtu lalu, percayalah itu gue dan Rama.
Ditemani buku Balada Si Roy milik Rama selama perjalanan |
Apa itu Banten Lama? Semacam kota tuanya Banten. Gue gak akan cerita sejarah di balik peninggalan-peninggalan yang ada di Banten Lama. Silahkan cari di eyang gugel untuk info lebih jauh. Cuma ingin berbagi tentang Banten (Serang lebih tepatnya) dengan segala keunikannya.
Sabtu pagi kami meluncur dari Depok ke Pasar Rebo
dengan angkot 19. Lanjut bus Kp. Rambutan-Merak dan turun di Untirta.
Jengjengjeng... gue udah berada di provinsi berbeda. Uyeah! Kami nunggu angkot
Terminal Pakupatan-Pasar Rau. Satu dua angkot lewat dan kami gak menemukan angkot
dengan tulisan Terminal Pakupatan-Pasar Rau. Ternyata semua angkot gak ada
tulisannya. Beberapa tertulis trayeknya tapi di bagian belakang mobil. Welcome!
Angkot disini berwarna biru langit. Setengah badan
ke bawah mobilnya dicat warna. Ada putih, hijau, ungu, dll. Asumsi gue trayek
angkot disini dikenali dengan identitas warnanya. Asumsi gue salah. Narik
angkot disini suka suka. Gak ada trayek. Yang kira kira searah diangkut. Atau
kadang kalo penumpangnya keliatan melas langsung diangkut (contohnya gue).
Seorang penumpang yang duduk di belakang supir
angkot nampak asik ngobrol dengan pak supir. Topik yang lagi hangat, dinasti
Ratu Atut. Gak lama teman jalan gue ikutan nimbrung. Saat bapak ini tau tujuan
kami Banten Lama, beliau menyarankan jangan naik dari Pasar Rau karena
ngetemnya lama. Kami diturunin di tempat antah berantah lalu nyambung angkot.
“Kita dimana?” tanya gue celingukan.
“Gak tau. Let’s get lost.” sambil cengar cengir.
Sampailah kami di Masjid Agung Banten tepat adzan
dzuhur berkumandang. Memasuki masjid kami berhadapan dengan seorang pengurus
yang berdiri di sebelah kotak hijau sepinggang. Meminta sumbangan seikhlasnya.
Belum sampai sepuluh meter dari kotak pertama, berdiri pengurus kedua melakukan
hal serupa. Sumbangan lagi. Sepanjang perjalanan masuk kami dikelilingi anak-anak
kecil yang sibuk menengadahkan tangan. Gak perlu dijelasin lagi kalo Rama yang
lebih banyak dikerubutin. Simpel, anak-anak itu pasti terkesima bisa bertemu
dengan idola mereka, Koboy Junior :p
Masjid Agung Banten bernuansa Jawa. Atapnya putih
dengan kayu coklat tua yang tersusun rapi menopang atap. Disini kita gak
menemui pintu-pintu besar untuk memasuki masjid, namun pintu setengah oval yang
tidak terlalu tinggi, mirip ruangan di goa. Sebelah masjid terdapat makam
leluhur yang berada dalam ruangan.
Pemandangan dari atas menara |
Selesai solat kami menaiki menara putih yang
terletak di depan masjid. HTM Rp 1.000/orang. Tingginya sekitar tiga puluh
meter. Tangga menuju ke atas hanya selebar badan manusia. Mustahil dilewati dua
orang yang berpapasan. I felt a bit
creepy here. Pemandangan dari atas cukup menarik. Terlihat Benteng
Surosowan dan... pantai! Yeah, persis arah utara terlihat petak-petak tambak
sebelum laut.
Perut dangdutan, mie ayam jadi santapan. Gue lupa
nama tempatnya, duduknya lesehan gitu, dan mie ayamnya lumayan enak walaupun
kuahnya gudang minyak. Dagingnya gak terlalu menonjol tapi kuahnya mantep coy.
Semacam perpaduan kari dan semur. Dan baksonya empuuuuuk banget. Harga mie ayam
Rp 10.000 dan minuman sejuta-umat-kosan Rp 5.000.
Tak ada tebing, benteng pun jadi |
“Bila ingin memasuki benteng harap lapor ke
petugas museum.” Kira-kira begitu bunyi tulisan pada sebuah papan yang
tertempel di pintu besi terkunci Benteng Surosowan. Berhubung museum sedang
direnovasi, kami menganggap sudah mendapat restu untuk masuk ke dalam benteng.
Caranya? Manjat! Buat apa latihan di wall?
Luas Benteng Surosowan sekitar 20 x 50 meter. Sisa-sisa
bangunan yang ada di dalam tidak jauh berbeda dengan tembok yang
mengelilinginya. Hampir rata dengan tanah. Didalamnya sudah tidak ada bangunan
apa-apa, hanya tumpukan bata-bata. Dan Rama menemukan tiga buah bambu yang
menyerupai gawang bola.
Tujuan kami selanjutnya yaitu Vihara
Avalokitesvara. Kami menyebrangi rel kereta api, lurus terus ke arah utara,
belok kanan, dan gerbang wihara sudah terllihat. Gue sangat excited karena ini kali
pertama gue mengunjungi tempat ibadah kaum Buddhist. Bau dupa langsung
menggelitik hidung. Lingkungannya bersih dengan dominasi interior warna merah. Pengunjung
diperbolehkan mengambil foto asal tidak menggunakan blitz. Dan di atap teras
tergantung benda favorit gue. Lampion! (The
question is, kenapa masuk masjid bayar dua kali tapi masuk wihara gak bayar
sama sekali?)
Seberang wihara berdiri sebuah benteng bernama
Spellwijk. Luasnya lebih kecil dibandingkan Surosowan namun kondisinya tidak
jauh berbeda. Hampir rata dengan tanah. Dan lagi-lagi Rama menemukan gawang bola!
Sekitar setengah kilometer kami berjalan ke arah
utara. Gue nemuin sekelompok kaktus yang tumbuh di daerah pesisir. Gak ada desa
sepanjang perjalanan tersebut. Hanya petak-petak sawah dengan air yang
tergenang. Jujur, gue bingung ini fungsinya apa. Perkawinan antara sawah dengan
tambak.
Panas terik menemani kami sampai Pantai
Karangantu. Ceritanya teman jalan gue seneng banget ketemu pantai. Doi langsung
berlarian sambil ngibasin rambut ala baywatch *haha kidding*. Kami menyusuri pantai
ke arah timur. Di ujung terlihat sebuah dermaga mini dengan kapal nelayan yang
berlalu lalang. Beberapa kali gue menemukan ikan seukuran tangan yang terdampar
di pantai. Keracunan kah?
I think this boat is cool! |
Kami sibuk menunggu senja yang masih mampir dua
jam lagi. Karena gak tau mau kemana, kami menghabiskan sore di dermaga mini
tersebut. Ngobrol, bercanda, ketawa, diem, merenung, ngobrol, bercanda, ketawa,
diem, merenung, begitu seterusnya. Sambil menikmati kapal-kapal nelayan
melintas silih berganti.
Sang surya yang bersinar terang tiba-tiba tertutup
sekumpulan awan hitam dari arah Selatan. Yah sia-sia dong nunggu dari siang.
Tapi gue dan Rama gak beranjak kemana-mana. Tetep setia nunggu senja pulang. Perlahan
sekumpulan awan hitam bergerak memisah. Memberi sedikit celah untuk sang surya
kembali ke peraduan dan memenuhi janji keindahan senja.
Gak ada kamera yang mampu merekam sebaik mata. Gue
otak atik pengaturan maupun pindah efek tetep aja lukisan senja ini gak sebagus
mata memandang. Setelah mengambil beberapa gambar, gue duduk lurus kebarat,
kaki menjuntai ke laut, melahap senja sekenyang-kenyangnya sampai hujan gerimis
dan angin kencang mengusir kami.
“We’re planning, but God do deciding. Prepare your
self for unpredictable way. All will be wonderful on its own time.” - @ergith
Terima kasih Banten!
Like Pooh said, “Friends make adventure better.”
Thanks Rama. Let’s get lost again :)
Ramadhan Satria ya? Pfffft. :p
ReplyDelete