Rabu ke-17
Matahari belum
ingin pulang. Angin sore baru saja datang. Namun seorang gadis sawo matang nampak
ingin segera menutup hari. Dengan sebelumnya mengunjungi senja di taman kecil
seberang kantor. Ia bergegas mematikan komputer, melepas id card bertuliskan Clavinna Dean, dan sembunyi-sembunyi keluar
ruangan.
Clave
mempercepat langkah. Dilirik jam perak pemberian tantenya. Masih ada tujuh
menit sebelum senjanya tiba. Ia tidak ingin melewatkan momen berharga itu.
Tidak sedetik pun. Seperti enam belas Rabu sebelumnya.
Napas Clave naik
turun dengan cepat. Ditenggaknya frappio
dalam satu tarikan. Teman setianya mengunjungi senja hari Rabu. Belum genap
satu menit napasnya kembali normal, sosok itu menyeruak sore dari pertigaan taman.
Menggenggam jantung Clave. Membuat degupnya semakin kencang.
Seorang pria
kurus tinggi yang selalu muncul di hari yang sama, waktu yang sama, dan melewati
rute yang sama. Kulitnya yang kuning langsat nampak bersinar di bawah mentari.
Tubuhnya cukup atletis dengan sepasang bahu bidang di balik kaus hitam
kebangsaannya. Semua ototnya bergerak teratur seakan menari. Mengayuh indah bersama
sneakers putih yang membungkus
langkahnya.
Rute pertigaan
taman sampai belokan toko kue sudah cukup membuat jantung Clave bertalu-talu
setiap Rabu. Ada yang menjalari setiap inci bagian tubuhnya. Dunia seakan bergerak
lambat hingga enggan berotasi saat pria kurus tinggi itu melintasi sembilan
puluh derajat gadis sawo matang. Ringan. Menawan. Namun melesat bagai anak
panah yang menghujam perasaan. Seteduh
angin sore pesisir. Sesejuk gerimis musim kemarau. Selembut embun bertemu
dedaunan. Senjanya tiba. Seperti enam belas Rabu sebelumnya. Mengisi batang
demi batang cadangan semangat untuk seminggu ke depan menjalani rutinitas kota.
Rabu ini
seharusnya menjadi Rabu yang istimewa bagi Clave sebelum selembar surat itu tiba.
Penugasan dirinya ke pulau sebelah akhir pekan ini. Energinya terjun bebas ke
batang terakhir. Ia meremas kertas di tangannya dan melempar pandangan ke luar
jendela. Menyapu rute pertigaan taman sampai belokan toko kue. Bahkan aku belum tau namanya. Tak ada
lagi satu tarikan frappio. Tak ada lagi
kaus hitam dan sneakers putih. Tak
ada lagi Rabu ke-18, 19, dan seterusnya.
Clave bergegas
menuju taman dengan setelan olahraga. Dadanya sesak. Segala macam perasaan
berebut keluar. Ia harus melakukannya hari ini. HARUS. Sekalipun bukan dalam
satu garis. Barangkali ia bisa mengumpulkan puluhan batang energi untuk
cadangan semangat berbulan-bulan di pulau sebelah. Coba saja.
Sepasang bahu
bidang yang dibalut kaus hitam muncul dari pertigaan taman. Menikmati tariannya
seperti biasa. Seteduh angin sore
pesisir. Sesejuk gerimis musim kemarau. Selembut embun bertemu dedaunan. Dan
semudah membuyarkan semua itu saat mendapati sepasang sneakers biru berderap di sampingnya. Ikut menari dengan senjanya.
Bercanda tawa.
Lutut Clave
terasa lemas. Jantungnya apalagi. Jangankan puluhan batang, satu batang pun
takkan mampu dikumpulkannya hari ini. Namun ia tak ingin mundur pada sebuah
alasan yang telah membentuknya hingga detik ini. Dua sneakers itu sudah melewati sembilan puluh derajat. Clave menarik
napas sejenak, menghimpun angin sore. Terima
kasih wahai senja. Ia mulai melangkah. Ke arah berlawanan. Temponya semakin
cepat. Gadis sawo matang itu hanya ingin berlari. Dan terus berlari. Sejauh
mungkin.
Cibeureum, 21 September 2013
Untuk Clavicle
bagus, git. suka deh sama ceritanya :)
ReplyDeletethanks mar :) padahal ini ceritanya ga penting haha
Delete