Clavicle
Kuhempaskan diri. Diam mengamati. Memohon waktu bersedia terus mengalir untukku. Padahal pekerjaanku menunggu. Namun rela kutukar demi detik berikutnya kudapati matamu. Yang menyimpan kelembutan. Menjinakkan mataku yang meledak-ledak tak karuan.
Harusnya
aku pulang saja. Menenggelamkan diri dalam lembaran tinta. Tak ada yang
bersalah. Tak ada yang disalahkan. Sungguh. Senja pun tak tau jawabannya. Ia
hanya berjanji menghias langit dengan cat air istimewa. Dan tugasnya tuntas
sempurna.
Aku senang saat kau mengunjungi halamanku. Seperti kunang-kunang. Melayang begitu indah hingga malam tak lagi pekat. Berpendar begitu nyata hingga mimpi terasa dekat. Besoknya kau hilang. Mengunjungi halaman yang lebih indah. Aku bisa apa? Satu huruf penyesalan pun tak berhak tau. Pada lembaran tinta lagi kumengadu.
Kau tau, yang paling menyakitkan bagiku bukan menangis sekencang atau sekeras-kerasnya. Namun tak mampu mengalir saat ingin menumpahkan rasa, atau bergulir seketika walau setengah mati menahannya. Percayalah, yang terakhir itu mengiris sekali.
Sudah
ya.
Jangan
memperkecil spasi, nanti aku meleleh lagi.
Jangan
memperluas halaman rasa, aku tak mampu menyiramnya.
Sincerely,
Your
Secret Admirer
After rain last afternoon |
Comments
Post a Comment