Makan Malam
Benda tipis persegi panjang itu bergetar di atas meja makan. Sebuah pesan
masuk. Makan malam, katamu. Semudah
itu.
Lama kupandangi. Kata-kata yang berbaris pada benda tipis itu. Seluruh bagian
tubuhku rasanya kaku. Bibirku mendadak kelu. Bagai bertemu soal ujian yang amat
sulit. Tak tau jawab apa, hanya pertanyaan yang berulang kubaca. Otakku
memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk mencernanya. Tidak, tidak. Bukan
ajakanmu yang buatku beku, namun kejadian sebulan lalu.
Hari itu adalah salah satu hari paling bahagia dalam hidupku. Bisa dibilang
hari yang cukup penting. Juga membanggakan. Empat tahun sudah aku berjuang. Keluarga
dan teman-teman dekatku hadir. Bahkan orang yang tidak kusangka, turut hadir.
Aku berhias seelok mungkin. Setahun sekali belum tentu. Karena ini adalah hari
yang sungguh istimewa dan aku ingin menghargainya.
Teman-temanku sibuk bertanya. Nanti
bertemu dimana? Mau dibawakan apa? Namun
jangan harap kau bertanya yang sama. Aku tak tau kau tau atau tidak bahwa besok
adalah hari besarku. Benda tipis itu kuputar-putar sebelum akhirnya kuputuskan
untuk mengetik beberapa kata. Aku hanya ingin kau hadir, teman. Sesimpel itu.
Jemariku sedikit bergetar. Namun jantungku yang paling berdebar.
Tak perlu kujabarkan lanjutannya karena kuyakin kau mengingatnya dengan
baik. Alasanmu waktu itu. Tak ingin pula kuketik disini. Klise. Kau tak hentinya
berkilah. Sayang aku sedang tak ingin silat lidah.
Jam 7. Tempat biasa. Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa ini hanya makan
malam biasa. Seperti minggu-minggu sebelumnya saat kita membelah malam untuk
mencari kuliner yang enak. Namun tak bisa kusangkal otakku berloncatan kesana
kemari. Memikirkan berbagai kemungkinan. Yang manis.
Sepanjang perjalanan senja mencoba menghiburku. Dengan permainan
warnanya. Yang tak pernah absen kukagumi. Kali ini semburatnya jingga dan
kelabu. Cantik. But, sorry, I was that messed. Malam merambat. Doa tertambat.
Semoga makananku tidak berubah menjadi asin. Semoga.
Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada ucapan selamat. Tidak ada kata
pengantar. Tidak ada hadiah. Apalagi pelukan hangat. Semua berjalan seperti
biasa. Senormal rotasi bumi dan pasang surut laut. Seteratur sang waktu yang
terus bergerak maju. Semua terlihat pada tempatnya. Sebagaimana kau yang duduk
disampingku dan semangat bercerita ini itu. Seperti biasa.
Bukan. Aku bukan wanita kuat seperti yang kau lihat. Syukurlah, aku
bermain peran dengan baik malam itu. Tak ada silat lidah. Tak ada makanan yang
berubah asin. Yang ada hanya kenyataan pahit bahwa kau tidak hadir pada hari
besarku. Itu saja.
Comments
Post a Comment