Posts

Showing posts from 2015

Singgah

Image
Kamis, 24 September 2015 . Hari dimana semua umat muslim bersuka cita menyambut hari raya kurban. Termasuk golongan kurang mampu yang hari ini mendapat berkah mencicipi satu dua potong empuknya daging sapi atau kambing dari kedermawanan golongan yang lebih mampu. Hari dimana kaum muslim menjalankan ibadah solat dua rakaat pada pagi hari, lalu bercengkrama bersama sanak keluarga setelahnya. Hari dimana para buruh Jakarta bisa berleha-leha sepanjang hari menikmati tanggal merah walaupun besok kembali bekerja. Aku? Tak kalah pagi aku bangun dan bersiap-siap menyambut hari yang indah ini. Kubasuh muka, gosok gigi, lalu bergegas menuju bandara. Iya, bandara. Tepat dimana orang-orang pada umumnya bersyukur bisa berkumpul bersama keluarga, aku malah meninggalkan mereka demi nafsu berkelana. Tak apa, aku sudah izin dan memberikan penjelasan. Orang tuaku membolehkan walau kakakku hanya geleng-geleng kepala. Hanya butuh 45 menit untuk mencapai Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta d...

Untukmu, Sahabatku

Image
Hai. Apa kabar? Sepertinya tak perlu kau jawab karena kau terlihat baik-baik saja. Melalui dunia yang orang sebut maya. Media bernuansa merah dan putih itu rutin memberitahuku kau sedang disini. Kau berbuat itu. Kau pergi kesana. Dan kau melakukan semua itu dengannya. Ya, sekarang ada dia disampingmu. Yang mengisi hari-harimu. Yang menjadi alasan di setiap tindakanmu. Let me be honest. Just for this time. Bahwa aku merindukan segala kegiatan yang dulu kita lakukan bersama. Ingat tidak, saat itu aku kesal karena sudah mengeluarkan peralatan manjat tapi tidak jadi berangkat. Spontan, kau mengajakku ke sebuah kota tua yang ingin sekali kau kunjungi. Katanya tempat ini ada dalam novel favoritmu. Jaraknya tidak dekat. Tapi kuyakin akan kuhabiskan akhir pekan dengan orang yang tepat. Atau, kau mungkin masih ingat saat aku meminta ijin untuk bergabung denganmu yang sedang rebah di atas pasir pantai. Mengurai lelah. Layaknya kasur di rumah. Kau pandangi langit dalam diam. Sejuta damai...

A Man with Brown Eyes

Him: Is there anything else you wanna share with me? Me: No. Him: Ok then I'll call you in a few days. Me: Emm.... few days means...? Him: Means what? Me: I mean, a few days are... what time exactly is it? It might be two days, three days, five days, or... a week. Him: *laughing* You waiting for my call? Me: Nonono. I mean, yesterday I felt so down and really wanted to call you at that time. But, you know, when you said "I'll call you in a few days" means... ya, I just don't want to disturb you. Him: Hey, you ok right now? Why you didn't call me? Just send me a text then I'll call you. Me: *hening* Don't worry, it's better now. Him: I mean it. If you need somebody to talk to, just simply call me. You know that I'll be there. If in the evening we are so busy, we can talk in the daytime. Make it easy. Me: Emm... ok. Noted. Him: You ok now? Me: Yeah. Him: Ok, I'll call you... soon. Atambua, 7 Mei 2015

Menghabiskan Rasa

Me: Entah, kadang masih terasa sulit. Temen Curhat Baru (TCB): Jangan menghindar. Hadapi. Me: Gak bisa. Seperti ada yang bergejolak tiap melihatnya. TCB: Ya sudah. Habiskan saja. Me: Apanya? TCB: Rasanya. Me: Memang bisa? TCB: Bisa. Me: *plongo* TCB: Iya, habiskan saja. Ketemu seperti biasa. Ngobrol seperti biasa. Jangan pernah berusaha untuk melupakan. Justru itu akan semakin sulit. Jadi, dihadapi saja. Sampai suatu saat rasa itu habis dengan sendirinya. Me: *plongo lagi* TCB: Thanks for sharing. Me: Thanks for listening.

Makan Malam Part 2

"Mau ngomong apa sih?" tanyamu berulang kali sambil menyendok sesuap hidangan laut. Kau ribut sekali seperti anak kecil yang bertanya mengapa ikan tidak tidur. Berulang kali kujawab, setelah makan ya . Aku tak ingin nafsu makanku hilang seketika. Kau kembali mengoceh, tentang apa saja. Bercerita dari Sabang sampai Merauke. Beberapa mungkin tak kau ceritakan kepada siapapun. Karena akulah teman terdekatmu. Piring kami sudah licin tandas. Kau makan dengan lahap seperti biasa. Jantungku mulai berdebar. Saatnya memenuhi janji. Kutarik napas panjang, kubuang perlahan. Kutarik lagi, kubuang lagi. Sial, sulit sekali ternyata. Kau hentikan ocehanmu. Menunggu. Menghadirkan hening yang semakin sulit bagiku. Tak perlu kutuntaskan hingga kalimat terakhir saat kudapati perubahan wajahmu yang mendadak layu. Kau lempar pandangan ke bawah. Seakan piring yang sudah licin itu jauh lebih menarik dibanding kenyataan yang kusajikan. Ibarat berlari, aku tak mengawali dengan pemanasan, juga tak...