Paket Murah Meriah Pinggir Pantai
20.56. Saya
memutuskan untuk pulang. Sudah larut. Namun pekerjaan tak kunjung surut. Ingin sekali
saya maki diri sendiri namun acap kali tak terjadi. Sambil mengurai lelah, saya
membuka galeri foto dan mendapati beberapa gambar yang melempar saya pada memori
sebuah perjalanan yang belum lama tercipta.
Tepat satu
minggu yang lalu, saya dan tiga kawan menghabiskan malam di sebuah pantai taman
nasional kedua paling timur di Pulau Jawa. Terbatasnya penginapan menjadikan
kami satu-satunya pengunjung yang menginap malam itu. Ditemani ribuan flora dan
fauna hutan tropis yang eksotis. Tentu momen yang istimewa bagi saya pribadi.
Istimewa karena
hanya ada kami berempat di lokasi tersebut (gak deng, ada petugas yang berjaga
di kantor, haha). Karena kami sedang bermalam di pantai taman nasional kedua paling
timur di Pulau Jawa. Karena ini kali pertama saya jalan dengan mereka. Dan karena
listrik hanya tersedia dari jam 6 sore sampai 10 malam.
Ketika listrik
padam, kami keluar dari penginapan dan rebahan di pinggir pantai. Ada yang mencoba
menyalakan kehangatan, ada yang melapor baru saja melihat bintang jatuh, dan
ada juga yang sibuk tawuran dengan nyamuk. Just felt so good and calming. Semua
dikemas dalam paket murah meriah pinggir pantai: debur ombak, semilir angin, dan
taburan bintang yang sayangnya malam itu tak berserak bagai pasir yang menempel di kaki
kami namun tidak mengurangi kesyahduan sang sepi. Paket murah meriah yang saat
ini terasa mahal bagi saya dalam riuh rendah kesibukan ibukota.
And this reminds
me of a conversation on one of my favorite movies.
S: You get
lonely?
C: Honestly,
I think I’m lonelier in my real life than out here.
Ya,
kadangkala kita merasa kesepian di tempat ramai atau kota besar, namun merasa “penuh”
dan “hangat” justru di kota kecil yang tidak banyak menjanjikan apa-apa selain
kesederhanaan dan rasa syukur.
Take me back on October, please!
Comments
Post a Comment