Tiga Hal yang Membuat Bahagia
“Tuliskan tiga hal yang membuat bapak dan
ibu bahagia dalam hidup!” bunyi salah satu sesi brainstorming dalam acara lokakarya yang saya ikuti beberapa bulan
lalu. Hampir semua peserta yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu dengan usia
40 tahun ke atas menjawab uang banyak, makan enak, dan suami tampan atau istri
cantik sebagai tiga hal yang membuat mereka bahagia dalam hidup. Walaupun bukan
peserta, tangan saya sungguh gatal untuk coret-coret kertas ingin ikut menjawab.
And here’s mine.
1. A house full
of books
Ah, bagian ini tidak perlu saya jelaskan. Selama rumah
saya penuh dengan buku, I’m surely happy.
Life goals! |
2. Good
relationships
Sebuah studi yang dilakukan oleh Robert
Waldinger dan tim tentang rahasia hidup
bahagia amat menyentuh saya. Waldinger mencari tahu apa yang membuat hidup responden
bahagia, apa yang membuat mereka senantiasa hidup sehat dan senang hingga
lanjut usia, dan apa tujuan hidup yang paling penting bagi mereka. Studi tersebut
telah berjalan selama 75 tahun dan masih berlangsung hingga saat ini. Berikut
cuplikannya:
“…So what have we learned? What are the
lessons that come from the tens of thousands of pages of information that we've
generated on these lives? Well, the lessons aren't about wealth or fame or
working harder and harder. The clearest message that we get from this 75-year
study is this: Good relationships keep
us happier and healthier. Period.
We've learned three big lessons about
relationships. The first is that social
connections are really good for us, and that loneliness kills. It turns out
that people who are more socially connected to family, to friends, to
community, are happier, they're physically healthier, and they live longer than
people who are less well connected. And the experience of loneliness turns out
to be toxic. People who are more isolated than they want to be from others find
that they are less happy, their health declines earlier in midlife, their brain
functioning declines sooner and they live shorter lives than people who are not
lonely. And the sad fact is that at any given time, more than one in five
Americans will report that they're lonely.
And we know that you can be lonely in a
crowd and you can be lonely in a marriage, so the second big lesson that we
learned is that it's not just the number
of friends you have, and it's not whether or not you're in a committed
relationship, but it's the quality of
your close relationships that matters. It turns out that living in the
midst of conflict is really bad for our health. High-conflict marriages, for
example, without much affection, turn out to be very bad for our health,
perhaps worse than getting divorced. And living in the midst of good, warm
relationships is protective.
And the third big lesson that we learned
about relationships and our health is that good relationships don't just
protect our bodies, they protect our brains. It turns out that being in a
securely attached relationship to another person in your 80s is protective,
that the people who are in relationships where they really feel they can count
on the other person in times of need, those
people's memories stay sharper longer…”
Check the link below for the full version.
3. A pick-up at
the airport
Saya tahu ini terdengar sangat sepele: seorang
penjemput di bandara. Supir Damri atau taksi bisa dengan mudah mewujudkannya, namun
bukan mereka yang saya maksud. Satu orang atau lebih yang diantara kesibukannya
bersedia menjemput saya jam berapapun kedatangannya. Yang menanyakan bagaimana
perjalanan saya dan automatically menyiapkan telinganya untuk segudang cerita
yang akan tumpah menit berikutnya. Yang sebelum itu merentangkan kedua tangan
terlebih dahulu sebagai penyalur rindu. Tidak muluk, bukan? Lalu mengapa
bandara? Kalau pulang perjalanan dengan kereta tidak perlu dijemput? Haha,
entah. Hanya saja pesawat tidak sering saya gunakan sebagai moda transportasi
untuk berpetualang kecuali untuk destinasi yang jauh atau penjelajahan
berhari-hari. Jadi, saya pikir tentu seru sekali kalau ada yang rela menjemput
setelah perjalanan jauh. And I count this as one form of happiness in life.
Comments
Post a Comment