Keajaiban 1: Ungaran
Konon, doa
kita akan dikabulkan dalam tiga bentuk:
1. Ya
2. Ya, tapi bukan sekarang
3. Diganti dengan yang lebih baik
Untuk doa yang masuk dalam kelompok pertama, seringkali membuat saya bergidik sendiri. Bagaimana tidak, doa tersebut terwujud dalam hitungan jam, bahkan menit. Bulu kuduk saya kadang merinding atau terasa aliran hangat yang menjalari tubuh ketika dengan cepatnya doa-doa itu dijabah dengan cara yang sungguh sederhana.
2. Ya, tapi bukan sekarang
3. Diganti dengan yang lebih baik
Untuk doa yang masuk dalam kelompok pertama, seringkali membuat saya bergidik sendiri. Bagaimana tidak, doa tersebut terwujud dalam hitungan jam, bahkan menit. Bulu kuduk saya kadang merinding atau terasa aliran hangat yang menjalari tubuh ketika dengan cepatnya doa-doa itu dijabah dengan cara yang sungguh sederhana.
Pasca-lebaran, saya dan #TeamPatahHati berencana mendaki Gunung Arjuna dan Welirang di Jawa Timur. Sebagai bagian dari latihan fisik, saya dan salah satu anggota tim, Samuel, akan trail run ke Gunung Ungaran yang hanya berjarak dua puluh menit dari kampung saya. Selepas subuh kami berangkat ke Camp Mawar di Sidomukti sebagai titik awal pendakian. Selama perjalanan di angkot menuju Pasar Jimbaran, di sebelah kanan terlihat Gunung Ungaran yang nampak gelap oleh awan yang berkumpul rendah, sedangkan di sebelah kiri matahari mulai terbit dengan sinar jingganya yang indah. Sungguh kontras.
Setibanya di
Camp Mawar, cuaca belum berubah. Kabut masih tebal. Puncak gunung pun tidak
terlihat. Saya tidak yakin bisa dapat cuaca cerah di puncak. Yowes lah, sing
penting latihan’e. Kami mulai mendaki sekitar pukul 6 pagi. Sunyi, dingin, dan
kabut menjadi teman perjalanan kala itu. Cuaca masih mendung ketika kami tiba
di pertigaan Premasan dan puncak. Angin mulai bersahut-sahutan. Gaduh sekali.
Menjelang
puncak, pohon-pohon tinggi mulai tergantikan oleh rumput dan trek batu. Makin
aduhay lah angin ini bertiup. Walaupun trek sudah “terbuka”, kami sulit melihat
view sekitar karena kabut masih saja menggelayut hingga kami tiba di puncak
kira-kira pukul 8 pagi.
“Git, kita
tunggu dulu kali ya, siapa tau cerah, ga buru-buru ini kan.” usul Samuel. Saya
pun sepakat untuk ngaso di puncak agak lama dengan harapan awan sendu ini cepat
bergeser dan kami dapat sedikit “biru”. Kemudian saya berdoa. Sederhana saja.
Semoga kebagian cerah hari ini. Amin. Harapan harus selalu dibungkus dengan
keyakinan, bukan?
Sambil
menunggu, kami foto-foto dan makan bekal. Tibalah dua orang pelari yang dari
kostumnya sudah dapat ditebak bahwa mereka anak trail. Kami pun berkenalan.
Ternyata kawan dari Semarang Runners. Mereka sudah sering kesini. Mereka bilang
kalau cerah bisa kelihatan Andong, Telomoyo, Gilipetung, Merbabu, Merapi,
Sindoro, Sumbing, dan Lawu. DUH GUSTI. Pasti bagus banget. Semoga kami bisa
menikmati pemandangan itu walau saya sendiri ragu pada waktu itu.
Hampir satu
jam kami berada di puncak. Angin masih bertiup kencang. Perlahan tapi pasti,
awan tebal mulai pergi. Gradasi hijau dari petak-petak sawah di bawah mulai
tampak. Langit tersibak dan sang biru tumpah sedikit demi sedikit bagai lukisan
alam. Wajah-wajah penuh harap para summiters mulai merekah, termasuk kami.
Biru. Cerah.
Segar. Sejuk. Hangat. Sinar matahari mendekap tubuh kami. Doa saya terkabul.
Dan juga (mungkin) doa teman-teman yang lain. Well, cerita ini mungkin
terdengar biasa saja, namun bagi saya yang mengalaminya cukup bermakna.
Menyaksikan bagaimana doa mampu menguatkan manusia secara tidak langsung dan
juga membuat percaya bahwa apapun bisa terjadi adalah pengalaman batiniah yang
sungguh berharga. Ada syukur disitu, juga batin yang penuh.
Terima kasih
atas birunya :)
Comments
Post a Comment