Keajaiban 2: Welirang
Pukul 21.30 saya
dan #TeamPatahHati bertolak menuju Cangar, salah satu jalur pendakian Arjuno-Welirang
yang terletak di Batu tapi masih ke atas lagi. Batu ini mirip Puncak di Bogor. Daerah
tinggi dengan banyak destinasi wisata favorit. Bedanya, jam segini jalan di
Batu dan Cangar sudah amat sepi. Hanya satu dua kendaraan yang melintas. Kabut tebal
sudah menyelimuti jalan sejak kami memasuki Cangar. Piye iki. Jarak pandang terbatas. Gerimis
mulai turun. Dingin makin menjadi. Single semua pulak, makin kering deh.
Rencana awal
kami adalah beristirahat di warung sekitar Cangar lalu start mendaki tengah
malam. MANA ADA WARUNG WOY. Hahaha. Our stupidity. Singkat cerita, kami merapat
ke sebuah warung di pinggir jalan, tidak jauh dari entry point. Satu-satunya warung
yang masih buka namun sebentar lagi tutup. Kami mengobrol dengan warga disitu,
salah satunya pak Jumari yang ternyata pemandu gunung dan dengan baik hati
mempersilahkan kami bermalam di rumahnya. Jombski’s luck. Terima kasih banyak,
pak! Setelah diskusi, kami tidak disarankan untuk naik sekarang karena hujan masih
deras. Baiklah, rencana B, start besok pagi.
Kalau ada
yang bilang move on dari mantan itu susah, kalian salah, move on dari sleeping
bag di pagi hari nan dingin lah yang lebih susah. Cangar masih hujan. Kabut masih
tebal sejauh mata memandang. Ini bahkan lebih buruk dibandingkan kabut di
Ungaran. Namun apa boleh buat, perjalanan tetap kami lanjutkan. “Kalau terang padahal
view-nya bagus nih, kelihatan sawah-sawahnya,” kata cak Sanjaya ketika kami memasuki
jalan sawah dan kebun. Ah sudahlaaa, kami sudah pasrah.
Jalur awal pendakian, ga ada harapan kaya kamu ke dia (pic by Samuel) |
Pagi itu saya
tak berharap apa-apa selain keselamatan utuh semua anggota hingga tiba kembali
di bawah. Rasanya mustahil menggeser awan tebal ini. Udah nyiapin mental: aku rapopo
foto di puncak ga dapet biru, sing penting perjalanan lancar, semua aman. Target dua gunung pun kami turunkan menjadi satu.
Setelah 7
kilometer berjalan, kami tiba di pertigaan, lurus ke Welirang, kanan ke Arjuno.
Sampai sini, langitnya masih abu-abu, tapi hujan sudah reda. Kami lanjut ke
Welirang. Lalu muncullah sky hole
(lubang di antara awan yang menampakkan biru langit).
“Apa, Git?
The power of pray?” ucap Samuel sepertiga mengingatkan, sepertiga meyakinkan,
dan sepertiga menggoda. Yang ditanya cuma cengar-cengir aja. Merasa ga yakin
hari ini akan terjadi keajaiban kecil seperti di Ungaran. Terlebih tidak ada angin
sama sekali, tentu kabut ini akan lama bergeser. Tapi ucapan Samuel
mengingatkan saya bahwa dalam kondisi buruk sekalipun masih tersimpan harapan. Saya
mau berdoa tapi ragu, jadinya malah nanya, “Rabb, ini masih mungkin ga ya dapet
cerah? Bismillah deh.”
Sky hole
makin melebar. Entah doa siapa yang dikabulkan. Simsalabim. Tibalah kami di
Puncak Welirang dengan langit terang.
Welirang summit (pic by Luthfal) |
Cak Sanjaya bilang ada untungnya juga setengah perjalanan awal kami
ga dapet panas. Karena kalau panas terik, konsumsi air akan lebih boros dan sulit
buat dapet dua puncak. See, selalu ada hikmahnya. Kuncinya adalah jangan
mengeluh. Kalau lagi mendaki dan hujan, sabar aja. Kalau lagi traveling dan
cuacanya ga sesuai sama harapan, disyukuri. Kalau bosan bilang, jangan ngilang.
Arjuno summit, we did it! (pic by Luthfal) |
Comments
Post a Comment