Memahami Keberagaman dari Anak Disabilitas
"Setelah tiga tahun program berjalan, 3.279 anak dengan disabilitas di enam kota/kabupaten dampingan telah menerima layanan. Sedangkan data pemerintah tentang jumlah anak disabilitas di enam wilayah tersebut hanya 1.057 anak."
Begitulah salah satu temuan yang saya baca dari tujuh lembar hasil survei akhir (endline survey) sebuah program. Sore itu, saya dapat tugas membuat fact sheet (infografis) dari laporan survei yang diberikan. Isu disabilitas adalah isu baru bagi saya. Sebelumnya, saya menangani isu literasi yang fokus pada peningkatan kemampuan membaca anak di Nusa Tenggara Timur. Berbeda sekali dengan program ini. Namun, tujuan besarnya masih sama: pemenuhan hak dasar anak. Laporan survei ini sangat eye-opening dan menjadi titik awal saya dalam memahami isu disabilitas dan pendidikan inklusif di Indonesia.
Kalau ada yang tanya berapa jumlah anak dengan disabilitas di suatu wilayah, manajer saya sering bercanda sambil tersenyum, "Cuma keluarga mereka dan Tuhan yang tau." Well, it's true. Mengapa begitu? Ada banyak faktor. Salah satunya stigma negatif yang masih melekat di masyarakat kita. Masih banyak orang tua yang menyembunyikan anaknya di rumah karena merasa malu. Mereka menganggap punya anak disabilitas adalah sebuah aib bagi keluarga sehingga anak tidak diizinkan keluar rumah. Jangan sampai tetangga tahu.
Apa dampaknya bagi anak? Mereka hanya diam di rumah. Sebagian besar tidak sekolah karena orang tua menganggap mereka tidak punya masa depan. Anak disabilitas tidak bisa apa-apa, jadi untuk apa pergi sekolah, begitu mindset-nya. Ditambah lagi, pemahaman masyarakat di sekitarnya mengenai isu ini masih tergolong rendah. Awalnya saya sulit percaya kondisi seperti ini masih terjadi di Indonesia, namun itulah kenyataannya.
Mengubah perilaku atau kebiasaan (behaviour change) bukan lah hal yang mudah. Ketika seseorang telah mendapat informasi atau pengetahuan baru, ada proses internalisasi di sana. Tidak sekonyong-konyong langsung praktik. Sama seperti, kita sudah tau bahwa olahraga rutin itu sehat untuk tubuh, tapi mengapa belum juga dilakukan?
Ibu-ibu kader sempat cerita bagaimana perjuangan mereka mengajak orang tua yang punya anak disabilitas untuk mau pergi ke layanan. Mereka sampai door-to-door. Tidak sedikit yang ditolak. Namun, ketika melihat orang tua lain membawa anaknya yang disabilitas ke layanan, mereka mulai membuka diri dan perlahan melakukan hal yang sama.
Saya salut sama ibu-ibu kader ini. Segala upaya dilakukan agar anak disabilitas juga punya kesempatan yang sama untuk berkembang. Para kader ini tidak dibayar. Semua kegiatan bersifat voluntary. Ketika ditanya mengapa mau melakukan ini, ibu ketua RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat) bilang, "Karena sudah fitrahnya manusia di dunia ini untuk membantu manusia lain. Tanpa membeda-bedakan. Kami coba bantu yang kami bisa."
Selama hampir dua tahun itu, banyak pelajaran berharga yang saya dapat. Mungkin ini cara Tuhan membuat saya mengerti tentang keberagaman dan menghargai sesama manusia, tanpa membeda-bedakan, seperti ibu ketua RBM bilang. Selain itu, saya juga menyadari bahwa isu ini adalah isu yang cukup sensitif. Butuh orang-orang yang berdedikasi tinggi dan tulus sepenuh hati untuk mau memperjuangkan hak-hak anak dengan disabilitas yang belum terpenuhi. Sederhananya, agar mereka bisa bermain, belajar dan menikmati hidup seperti anak-anak lainnya. Sesederhana itu.
High appreciation to IDEAL team who has worked wholeheartedly throughout the project, devoting much time and energy to care for those in need. Thank you for the opportunity. Let me mention you here so I can remember each of you: Wiwied Trisnadi, Nandang Cahyono, Nurkumala Dewi, Yanti Kusumawardhani, Ki Agus Sobri, Sofwan Samandawai, I Putu Sumiarta, Ikhyaul Ihsan, Intan Puspitasari, Dzikri Insan, Muhammad Nuzul and Tsania Rahma Sya'bani.
Selamat Hari Disabilitas Internasional!
#SemuaBisaSekolah
#BerpihakPadaAnak
#SayangiTunasCilik
#SaveTheChildren
Comments
Post a Comment