Timur Punya Cerita: Toleransi
31 Maret 2020
Other stories of Atambua:
Timur Punya Cerita: Atambua
Timur Punya Cerita: Bakar Ikan
Timur Punya Cerita: Menarilah!
“Belu closing hari ini. Project su habis.”
Pesan ini muncul di handphone saya saat tengah hari. Saya terdiam,
seperti ada yang menekan tombol “freeze” sehingga saya sulit bergerak. Pikiran
saya terbang ke potongan-potongan hidup lima tahun lalu tentang kota kecil di
timur sana, kota yang selalu teringat.
26 Maret 2020
Saya chat salah satu teman, “Two days ago, tiba-tiba inget Atambua,
inget masa-masa selama hidup di sana, then suddenly the tears were falling, it
was one of the best years I had, and I just miss it so much.”
Wait…
Mata saya membesar ketika membaca ulang pesan ini. Enam hari lalu. Dengan
cepat, saya chat teman saya lagi,
“I think the universe sent me a hint.”
“Indeed.”
Konon, kalau kau punya ikatan istimewa terhadap sesuatu, kau akan
merasakannya. Ah, begitukah? Atau, ini hanya kebetulan semata? Seberapa jauh
kau percaya tentang kebetulan? Tapi, mengapa enam hari lalu tiba-tiba ingat
Atambua sampai menangis segala?
Kadang otak saya melakukan analisa terlalu jauh, baik yang masuk
akal maupun tidak. Di antara macam-macam pikiran yang berseliweran di kepala
saat ini, saya tersenyum. Senang rasanya punya kenangan yang baik; kenangan yang
ketika mengingatnya, mampu menerbitkan senyum dan rasa bahagia.
Ah, Atambua… Apa kabar, ya?
Di sini lah kali pertama saya bekerja secara full-time. Butuh
waktu satu hari lebih untuk mencapai tempat ini. Pertama, terbang dari Jakarta
ke Kupang. Besoknya, terbang dari Kupang ke Atambua. Saat itu, penerbangan Kupang-Atambua
hanya satu kali dalam sehari sehingga saya perlu bermalam di Kupang. Atau, bisa
juga menempuh jalur darat, kira-kira 6 sampai 7 jam.
Tidak pernah terpikir untuk berada di sini. Jauh dari keluarga dan
teman-teman. Namun, setelah lulus kuliah, tekad saya sudah bulat: Bekerja di luar
ibukota. Saat itu, saya meyakini bahwa bekerja di tempat yang jauh (dari rumah)
adalah kesempatan bagus untuk belajar tentang hidup yang sesungguhnya. Itu
mengapa saya juga daftar Indonesia Mengajar, tapi gagal. Hahaha. Belakangan
saya sadar, Tuhan tunjukkan jalan lain lewat Atambua.
“Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” – Imam Syafii
Ini kutipan dalam buku Negeri 5 Menara yang selalu menggema di benak
saya sekaligus menjadi pegangan kemanapun saya hendak merantau. Pesannya sungguh indah; sejauh apapun kita pergi, jangan khawatir, kita akan dapat kawan
baru, keluarga baru. Sebab, mungkin saja ada masa di mana kita tidak tumbuh
berdampingan dengan orang-orang terdekat kita. And it’s ok.
Di sini saya dapat pelajaran berharga tentang toleransi. Walaupun
saya datang sebagai minoritas, tidak ada diskriminasi sama sekali. Saya merasa
sangat dihargai di sini. Toleransinya begitu tinggi. Dan hal ini justru saya
pahami ketika menjadi minoritas. Ada banyak pengalaman baru dan unik ketika dua
latar belakang bertemu. Seperti kejadian satu ini. Sore itu, kantor kami sedang
masak-masak. Semua staf terlibat. Saya sedang di pintu pagar, mau pergi
sebentar, lalu salah satu staf menghampiri saya dari arah dalam.
“Nona Gita, tunggu! Bisa kasi potong ini ayam ko?”
“He?”
“Harus Nona Gita atau Pak X yang potong to, kalau tidak nanti Nona
Gita tidak bisa makan.”
Saya tertawa. “Son apa, Kak. Potong sa. Nanti beta makan.”
Menuju salah satu sekolah dampingan |
Other stories of Atambua:
Timur Punya Cerita: Atambua
Timur Punya Cerita: Bakar Ikan
Timur Punya Cerita: Menarilah!
Comments
Post a Comment