The Art of Friendship - Ryu
Sebelum lupa, saya mau cerita tentang orang-orang yang berarti dalam hidup saya. Salah satunya Ryu. Saya dan Ryu suka lari. Kami bertemu empat tahun lalu di gunung (yep, lagi lari tentunya). Sejak saat itu, kami sering ngobrol dan bertukar pikiran. Ternyata banyak interest dan value kami yang satu frekuensi. Ryu orangnya asik, cukup kritis dalam berpendapat, good listener, suka menolong sesama teman, siap sedia kalo dibutuhin, dan penyemangat andalan. Selain ngobrol, kami juga sering night run bareng.
Dari sekian memori sama Ryu, ada dua momen berarti yang mau saya bagi. Pertama, waktu saya ke Rinjani seorang diri. Saat itu rencananya mau rayain umur 26 di gunung impian, Rinjani. H-3 tiket pesawat belum juga dibeli karena saya masih ragu pergi sendiri. I need second thought. Saya chat dua teman dekat, salah satunya Ryu. Saat itu jam 10 malam. Teman saya satunya lagi sibuk nulis, unavailable. Ryu bilang “5 mins” tapi saya ga yakin karena ternyata dia lagi lembur di kantor. Lima menit kemudian, Ryu beneran telepon. I will never forget someone who tries making time for his/her friend, like Ryu.
Kedua, waktu saya lagi ngalamin patah hati terparah, sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, saya baru putus cinta. Kondisi mental sangat buruk. Saya menarik diri dari pergaulan. Rasanya ga mau ketemu atau bersosialisasi dengan siapapun, termasuk orang-orang dekat. Saat itu, saya dan Ryu udah lama ga tukar kabar. But, I guess God just sent me the right help. Ryu ngajak lari, just like the old times. Kalau bukan Ryu, kemungkinan besar saya tolak karena saat itu lagi enggan banget ketemu manusia.
Setelah itu, kami sering lari bareng lagi. Sekalian nemenin Ryu latihan buat lomba. Tanpa disadari, hal ini bikin semangat lari saya muncul lagi sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya, saya berhasil kembali pada ritme langkah saya sebelumnya. Sungguh ga nyangka saya akan ada di titik terendah sampai ga ada motivasi ngelakuin hal-hal yang disuka, seperti lari. Saya bersyukur banget, melalui Ryu, saya nemuin lagi joy dalam berlari. And it means a lot for me.
Sebulan lalu, Ryu telepon. Kasih kabar bahwa dia mau mengakhiri masa lajangnya. Butuh beberapa detik buat mencerna. Saya tahu lika-liku kisah cinta Ryu dan perjuangan yang sedang ia lakukan. Saya takjub sekaligus bangga bahwa Ryu sudah jauh lebih dewasa.
Setelah telepon ditutup, tanpa disadari ada yang mengalir di pipi. Saya bahagia buat Ryu dan… sedikit sedih mungkin? Sulit buat mendeskripsikan apa yang sebenarnya saya rasa. Mungkin ini yang paling mendekati: saya sedih akan kehilangan satu sosok yang begitu mengerti saya dan sifat saya. Ya ga kehilangan juga sih. Masih bisa main dan silaturahmi di waktu mendatang, tapi tentu akan beda dengan kondisi ketika masih single. Ah, why adulting is hard.
Mungkin yang berat bagi saya adalah menghadapi kenyataan bahwa di umur segini lingkaran pertemanan semakin mengecil. Kita mengejar mimpi dan tujuan hidup masing-masing. Di sisi lain, umur segini bukan lagi fasenya nambah teman baru (except for networking purpose), tapi lebih ke ningkatin kualitas dengan yang udah ada. Jadi ketika kehilangan satu sosok yang betul-betul dekat dan sangat memahami saya, entah kenapa sedih sekali rasanya.
So, I’m writing this
just to remind myself that I'm always surrounded by good people or invisible angels, like Ryu, who will be
there for me, and I’m truly grateful for that.
Taken by Ryu |
Another story:
Comments
Post a Comment