Malaikat Tak Bersayap
Ketika patah hati, setiap orang punya coping mechanism (mekanisme bertahan) atau cara pengendalian yang berbeda-beda. Sebuah penelitian menyebutkan lima cara yang umum dilakukan orang Inggris Raya ketika patah hati adalah ngobrol dengan teman (37%), minum alkohol (30%), tidak melakukan apa-apa (21%), makan lebih banyak (12%), dan berbicara dengan orang tua (12%)*.
Saya? Sepertinya masuk ke dalam kaum rebahan alias tidak melakukan apa-apa. Tapi ada satu kebiasaan yang saya amati ketika lagi ngerasa sedih: Saya cenderung menarik diri dari pergaulan, misalnya off dari media sosial dan tidak mau ngobrol dengan siapapun, bahkan teman dekat sekalipun. Ini terjadi ketika saya lagi ngerasa super sedih sampai rasanya ga ada tenaga untuk bersosialisasi, salah satunya waktu patah hati terbesar akhir 2017.
November 2020, saya nonaktifkan akun utama di Instagram (lagi). Ya, saat itu ada kabar yang tanpa disadari bikin saya sedih sehingga saya putuskan untuk berjeda dulu dari media sosial. Tenang, saya masih ngobrol dengan teman kok. Rencana awal hanya off Instagram beberapa minggu, tapi malah keterusan sampai sekarang.
Tiga hari lalu, saat menyalakan hp di pagi hari, ada satu pesan masuk dari seorang kawan lama, dulu kami satu tempat kerja, namanya mba Karrina.
“Neng..” begitu bunyinya, dikirim jam 00:34 alias tengah malam. Selanjutnya kami ngobrol melalui chat WhatsApp. Mba Karrina bilang tiba-tiba tengah malam dia keingetan saya, lalu langsung cari Instagram saya tapi ga ketemu (akun masih nonaktif). Ada sekelebat rasa nyesss menjalar dalam darah ketika mendapati ada orang yang langsung menghubungi saat ingin tahu kabar kita. Tengah malam pula.
Pikiran saya melayang ke memori dua tahun lalu, saat liburan ke Makassar dan Toraja bulan April 2019. Selama di Makassar, saya menginap di tempat mba Karrina (thank you so much for the hospitality, Mba Kar!). Hari pertama, kami motoran ke Rammang-Rammang, sebuah kawasan pegunungan kapur atau karst yang tinggi menjulang dan sangat luas. Di sekitarnya mengalir sungai dan petak-petak sawah. Sungguh indah. Dari Makassar, butuh 1 sampai 1,5 jam dengan motor. Tiupan angin yang cukup kencang sesekali membelai kami selama bersantai di salah satu pondok di Rammang-Rammang.
Rammang-Rammang |
Ditemani segarnya air kelapa di siang hari yang terik, saya melepas lelah perjalanan sekaligus menikmati kemegahan Rammang-Rammang dalam diam. Namun energi mba Karrina seperti ga habis-habis. Selama di pondok, dia asyik berbincang dengan pemilik pondok yang memang sudah kenal sebelumnya.
Kembali ke kota, kami makan malam singkat di rumah makan Tiongkok. Kami agak buru-buru karena saya harus mengejar bus malam menuju Toraja yang akan berangkat kurang dari satu jam. Di sela-sela waktu tersebut, entah kenapa ada dorongan dalam diri yang ingin bercerita tentang kegundahan yang sedang saya alami saat itu.
Dan meluncurlah barisan kata yang tak lagi tahan untuk menyeruak ke permukaan. Bahwa kemarin pagi saat bertolak dari rumah saya pakai jilbab, namun melepasnya setibanya di Bandara Soekarna Hatta. Bahwa kegelisahan ini sungguh minta ampun sampai saya bingung mau cerita pada siapa.
Mba Karrina mendengarkan dengan khidmat sampai cerita saya selesai, tanpa banyak berkomentar maupun penghakiman. Dia tetap mendengarkan dengan baik walau saya terbata-bata menceritakannya. Bagi saya, hal prinsipil seperti ini tidak mudah untuk diungkapkan pada orang lain. Apalagi saya berada di lingkungan di mana sebagian besar teman saya berjilbab. Oleh karena itu, saya tidak sembarang cerita sampai ada momen yang tepat, sampai bertemu orang yang tepat.
“Orang itu ga dilihat dari cara berpakaian, tapi perbuatan. Selama kita berbuat baik, itu cukup.”
Tanggapan mba Karrina yang masih menempel di kepala.
Cerita ini menjadi pelengkap kisah liburan saya ke Sulawesi Selatan. It's more than just a journey. Saat bekerja dulu, kami tidak intens bertukar pikiran selain perihal pekerjaan. Saat trip inilah kami malah banyak ngobrol heart-to-heart dan rasanya menyenangkan sekali. Mba Karrina orangnya cerdas, berpikir kritis, gesit, rendah hati, dermawan, dan mau menolong sesama. Saya bersyukur banget ketemu sama sosok yang tepat di waktu yang tepat.
Saya punya sebutan untuk orang-orang seperti mba Karrina, orang-orang tak terduga yang muncul ketika saya sedang kacau balau: Invisible Angels. Kalau diartikan ke Bahasa Indonesia, malaikat tak terlihat. Hahaha, agak aneh ya. Bukankah semua malaikat ga bisa terlihat? Ah, sepertinya malaikat tak bersayap lebih pas.
“Love you, Gita. Sehat selalu lah. Kadang kupikir kita akan ketemu di masa depan, satu project gitu atau jalan-jalan bareng lagi.”
Ucapnya di percakapan WhatsApp tiga hari lalu. Pandemi cepatlah berakhir!
* “Where do broken hearts go?”. benenden.co.uk. 2 March 2021. https://www.benenden.co.uk/be-healthy/mind/where-do-broken-hearts-go/
Comments
Post a Comment