Semangkuk Mi Hangat
“What’s on your mind?” tanya gua secara random di tiga kilometer terakhir menuju basecamp.
“Mmm... Capek,” jawab Arkha singkat. “What
about you?” dia bertanya balik.
“Indomie.” Arkha tertawa mendengar jawaban
gua. Gua pun ikut tertawa. Siapa yang tidak memikirkan semangkuk mi hangat plus
cabe rawit iris di tengah dinginnya gunung dengan ketinggian 3.000-an mdpl.
Weekend ini,
seperti weekend yang lalu-lalu, gua dan Arkha trail run ke
gunung. Kami sama-sama setuju kalau tiga kilometer di gunung itu sangat berbeda
dengan di kota. Kalau jalan di gunung, entah mengapa rasanya lama banget. Sampai
akhirnya gua bosan dan melontarkan pertanyaan random itu pada Arkha.
Sesampainya di basecamp, kami menuju
satu warung tempat kami memarkir mobil. Gua sudah membayangkan nikmatnya
menyantap mi hangat di cuaca dingin begini. Ditambah perut gua lagi laper
banget setelah trail run 16 kilometer. Rencana gua adalah pesan mi
sebelum mandi. Jadi, minya udah siap setelah gua mandi, gak perlu nunggu lagi. Ok,
sounds like a good plan.
“Teh, mau Indomie, ya. Yang goreng,” ucap
gua pada teteh warung sambil menyiapkan alat mandi dan baju ganti.
“Lho, bukannya mau mandi?” ucap Arkha
tiba-tiba.
“Iya, ini mau mandi, abis itu makan.”
“Kalo bikin sekarang, nanti abis mandi minya
keburu dingin,” Arkha berpikir logis.
“Ya, gapapa,” jawab gua singkat karena lagi
males mikir, badan gua masih lelah setelah trail run. Atas nama “biar
cepet” dan menghindari debat sama Arkha, gua putuskan untuk mengikuti usulan
dia: pesan mi setelah selesai mandi. “Teh, minya nanti aja deh,” ucap gua ke
teteh warung sambil berlalu ke kamar mandi.
Setelah mandi (yang lebih tepat gua bilang
sebagai penyiksaan karena airnya sedingin es!), gua menuju meja kayu dan siap
memesan mi ke teteh. Arkha sudah selesai mandi, dan sepertinya sudah selesai
makan juga kalau dilihat dari mangkuk kosong di depannya.
“Seger, ya, Teh, abis mandi. Ini
Indomie-nya, ya,” tiba-tiba teteh warung lewat depan gua sambil menaruh semangkuk
mi goreng di atas meja kayu. Asap masih mengepul dari mangkuk itu. Hangat. Baru
dimasak. Lho, kan gua belum pesan, ucap gua dalam hati karena masih
bingung sehingga gak ada satu kata pun yang keluar dari mulut gua.
Seakan bisa membaca tanya di sorot mata
gua, teteh menimpali lagi, “Tadi dipesenin si Aa.” Aa yang dimaksud adalah
Arkha. Gua langsung menatap Arkha. Yang ditatap datar-datar aja sambil
menyeruput teh hangat. “Makasih, Teh,” ucap gua dengan sedikit gemetar.
“Thanks, Kha,” ucap gua sambil duduk di
sebelahnya dan mulai menyantap mi paling enak sedunia. Jujur, ada perasaan aneh
yang tadi tiba-tiba muncul. Semacam senang, tapi juga deg-degan. Namun satu
yang pasti, apapun bentuk rasa yang gua alami, gua tahu Arkha dan gua hanya
bisa saling care sebatas ini. Tidak lebih.
Based on a true story. Edited by MD.
Comments
Post a Comment